Peristiwa 65 memang sudah lama berlalu, sebagian besar aktor baik yang dianggap pelaku mungkin tidak lagi relevan dalam kancah politik nusantara. Maka menghadirkan kembali memori lama itu mengadung pertanyaan: untuk apa? Bukanlah masa lalu tak bisa dirubah dan mengais-ngais luka lama hanya membuka koreng menganga kembali.

Toh tafsir siapa yang mau dipakai? Militer, NU, Manikebu, Lekra, Pemuda Pancasila? Kalau bukan mau bilang tafsir orde baru yang tentu sudah malu-malu untuk dipakai sebagai sudut pandang. Dan apa manfaatnya? Buat kita, generasi muda yang punya tantangan menghadapi konvergensi media, pasar dan budaya?

Saya rasa yang paling mudah dilakukan adalah dengan kejujuran membuka akses terhadap memori tersebut, sembari mencoba melihat dari sudut-sudut yang berbeda. Pengalaman ini tentu personal, namun penting untuk dilakukan secara masal bukan untuk mengungkap apa yang benar-benar terjadi, tapi yang akan kita anggap benar dan salah.

Kita bukan tidak sadar peristiwa 1965 adalah sebuah masa luar biasa yang sadis dan kejam. Tidak ada warga Indonesia waras yang bersedia untuk mengulang peristiwa tersebut, baik mereka yang menang dan yang kalah. Mungkin ada, saya belum pernah menemuinya.

[gallery link=“file” columns=“4” ids=“269,268,267,266,265,264,263,262,261,260,259,258”]

Namun selama puluhan tahun juga kita bersedia menipu diri sendiri, bukan atas apa yang terjadi tapi apa yang harus terjadi.

Yang saya tanyakan bukan apakah ada tidak gerakan dari PKI menculik dan membunuh jenderal-jenderal. Tapi apakah mereka benar-benar ancaman bagi negara? Apakah mereka gerakan partai atau sebagian elit.

Bukan sekedar apakah PKI musuh militer, tapi layakkah seorang musuh dibunuh dari belakang dan dikubur entah mati atau hidup dalam lubang yang digali sendiri.

Bukan soal apakah Soeharto pemenang dari gelanggang krisis 1965 tapi layakkah ia menyalahkan komunis dan orang-orang yang tertuduh demi kekuasaan yang ia nikmati hingga anak cucunya?

Seorang mahasiswa indonesia tengah belajar di Rusia ketika itu, ia kemudan bersama ribuan cendikiawan lain tak bisa pulang karena tak lagi diakui sebagai warga negara. Ia berkata kira-kira seperti ini

“Bukan apakah kita kalah atau tidak, jelas bahwa kita kalah. Tetapi mengapa bisa kalah, dan bagaimana kita belajar dari situ, lalu menerima dan hidup”.

Atau yang lain:

“Waktu itu garuda mati, maka kita hidupkan garuda versi kita sendiri. Ya kita kemana-mana berusaha menghidupkan garuda, dan berhasil”.

Pertanyaan-pertanyaan ini yang saya rasa hendak diangkat oleh seniman-seniman melalui foto, video dan pisau-pisau. Juga “prank” terhadap monumen lubang buaya.

Karena bukan jawaban yang menakutkan, tapi pertanyaan yang tidak berhenti.

*Rekoleksi Memori merupakan instalasi seni dan rangakain diskusi di TIM pada bulan Desember 2015.