Saya percaya persidangan Julian Asangge adalah salah satu momen paling penting dalam sejarah modern. Ini akan mendefiniskan ulang relasi jurnalisme dengan negara (adidaya). Hakim Vanessa Baraitser pada tanggal 4 Januari mendatang diperkirakan akan memutuskan untuk mengijinkan ekstardisi Assange dari tanah UK ke AS, tanah yang dulu adalah salah satu koloni kerajaan.

Serangan, ancaman dan persekusi pada wartawan dan penggiat jurnalisme bukan hal baru. Berbagai pemerintah termasuk Indonesia memiliki catatan hitam represi terhadap jurnalis. Sidang ektradisi ini jadi signifikan karena AS merupakan negara yang sangat kuat menjaga kebebasan berpendapat. Amandemen Pertama merupakan salah satu keajaiban bagaimana sebuah kalimat bisa mendefinsikan kebijakan yang bertahan selama ratusan tahun. Bisa dikatakan kebebasan berpendapat adalah salah satu nilai dasar dari Amerika Serikat.

Jadi sirkus ekstradisi ini tidak hanya menyerang jurnalisme, Amandemen Pertama tapi juga menelanjangi kuasa AS terhadap negara-negara lain. Setelah Swedia tidak lagi terlibat, Ekuador mundur perlahan dari perlawanan. UK kini menerapkan apa yang sering dikatakan “black site” dan “sidang sandiwara” atas permintaan AS.

Tidak benar-benar “black site”, setidaknya masih ada mata memantau nyawa Assange. Namun penyiksaan psikologis, pembatasan akses terhadap keluarga dan pengacara, pembatasan akses pemantau persidangan (termasuk Amnesty International) hingga perlakuan di ruang sidang seperti terhadap penjahat paling berbahaya. Assange seolah-olah ranjau yang siap meledak atau menularkan virus berbahaya sehingga tidak diberikan ruang layak dalam persidangan. Selain nyawa Assange yang masih di sana, seluruh perlakuan terhadapnya hanya bisa dimengerti jika ia pemimpin gerakan terorisme internasional.

Persidangan ini hendak menegaskan garis maya apa yang boleh dan tidak boleh dilanggar oleh jurnalis dalam mengkritik negara (adidaya). Batas itu terus bergeser dan abu-abu namun kini lebih tegas dan terbuka.

Sidang ini juga menegaskan kuasa Amerika untuk mencari, menghukum dan menutup mulut siapapun di dunia yang dianggap menganggu eksistensi negara, atau dalam bahasa lebih resmi: keamanan nasional.

Tidak ada situs berita domestik yang memberitakan ini demgan baik. Baik generasi lama macam Tempo atau media baru yang lumayan progresif: Tirto, Kumparan, Narasi. Semua diam. Entah karena tidak memiliki sumber yang baik, atau merasa ini tidak penting bagi masa depan jurnalisme. VOA Indonesia justru lebih sering menurunkan berita, tentu sulit berharap konten yang tajam dari VOA di sini.

Secara pribadi saya sungguh kecewa. Kecewa.

Tidak ada negara yang sempurna, semua dengan kekurangan masing-masing. Kritik pada negara AS, UK dkk dalam war on terror, Five Eye atau neo kapitalisme sudah lama terjadi. Namun serangan vulgar terhadap jurnalis dan whistle blower kali ini seperti menyerang sendi-sendi terakhir yang membuat negara lain selama ini masih hormat pada mereka.

Keputusan berat Snowden untuk terbang ke Rusia setelah mampir di Hong Kong adalah satu-satunya jalan paling masuk akal yang tersedia bagi orang semacamnya. Dia adalah noda, sebuah noda yang tidak diinginkan oleh negara dan sebagian besar warganya. Fatwa sebagai seorang pengkhianat dan mata-mata selayaknya putusan kafir dalam masyarakat Islam atau heretic dalam inkusisi Spanyol. Fakta tidak lagi penting ketika kehormatan dan keamanan negara menjadi pembenar.

Lima puluh tahun dari sekarang buku sejarah akan mencatat: “Assange dan Snowden adalah dua tokoh dari sisi dunia berbeda yang melakukan tindakan berani, membocorkan informasi-informasi paling rahasia dari negara-negara adidaya di dunia saat itu. Akibat dari informasi yang mereka buka terjadi perubahan sosial dalam relasi antara warga dan negaranya. Mereka melarikan diri, hingga ke wilayah-wilayah yang mereka tak sukai agar bertahan hidup, namun kuasa negara adidaya berhasil membekuk salah satunya”.

REF

Bogor, 4 Oktober 2020